- Home >
- Lingkungan >
- KERUSAKAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN BANYUWANGI AKIBAT GALIAN GOLONGAN C JENIS PASIR, BATU, KERIKIL
Kamis, 08 Juni 2017
KERUSAKAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN
BANYUWANGI AKIBAT GALIAN GOLONGAN C JENIS
PASIR, BATU, KERIKIL
foto: proses pengambilan pasir dengan menggunakan alat berat
INDEPENDENT NEW, Kabupaten Banyuwangi memiliki
potensi tambang yang beraneka ragam
tambang golongan C yang terdiri dari batu kapur, batu
gunung (andesit), pasir, kerikil, disamping itu, terdapat juga potensi tambang
emas.
potensi bahan galian golongan C jenis Batu gunung terdapat
di Kecamatan Kabat Dusun Kejoyo Desa Tambong. Sedangkan potensi tambang
Pasir dan kerikil terdapat di
Kecamatan Kalipuro,Rogojampi,Singojuruh,Sempu,Srono,Genteng Siliragung.
Hampir seluruhnya tidak memiliki izin Pertambangan dan
semuanya merusak lingkungan dengan kedalaman galian yang melanggar aturan
perundang undangan yang berlaku
Potensi
pertambangan golongan C di Kabupaten Banyuwangi memungkinkan dapat meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD) karena Banyuwangi terkenal sebagai daerah yang
kaya mineral padat bawah tanahnya, namun pengelolaan hasil tambang harusnya
bisa dilakukan seoptimal mungkin agar efisien, berwawasan lingkungan, serta
berkeadilan dan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,
namun bagaimana dengan kondisi di Kabupaten saat ini...??.
Sebuah fenomena yang terlihat bahwa setiap kecamatan
pasti terdapat lebih dari satu Desa terancam rusak,salah satu contoh galian
pasir golongan C yang berada di Dusun Kedumen Desa Bomo Kecamatan Rogojampi,
galian pasir tersebut berada persis ditepi jalan dan bersebelahan dengan rumah
warga yang seharusnya merupakan tanggung
jawab kita semua untuk menjaga kelestariannya.
H.GIONO Pengusaha tambang ketika ditemui untuk dimintai
keterangan terkait izin tambangnya akan tetapi H. GIONO tidak berada dilokasi
tambang,menurut salah satu karyawan ( kepala dusun) mengatakan “nanti aja mas
tunggu pak Haji saya takut salah”
Eksploitasi penambangan pasir besar-besaran
terjadi disana,dapat di katagorikan dalam tahap yang sudah menghawatirkan,akan
tetapi Kepala Desa ,Camat dan Polsek santai tanpa ada yang perduli dengan hal
ini.
Dari hasil penelusuran
kawasan penambangan pasir, Di Dusun Kedumen Desa Bomo Kecamatan Rogojampi dan
Kecamatan srono banyak ditemukan degradasi (penurunan) kawasan yang sebagian
besar disebabkan oleh aktivitas penambangan yang dilakukan secara besar-besaran
sehingga, saat ini sangat menghwatirkan terbukti begitu banyaknya jurang –
jurang yang yang dalam, yang apabila hujan terlihat seperti danau - danau
besar, yang sangat membahayakan masyarakat.
Setelah perusahaaan besar bahkan orang berkantong tebal mulai masuk dan membabi buta melakukan
eksploitasi, parahnya penambangan dilakukan tidak lagi dengan peralatan sederhana,
tetapi dengan menggunakan alat berat. Hal inilah yang menyebabkan degradasi kawasan ini
berlangsung sangat cepat. ditambah lagi pihak penambang tidak melakukan
rehabilitasi kawasan sesuai aturan penambang galian C.
UU No 4/Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).UU ini adalah
pengganti/penyempurnaan dari UU No 11/Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang dianggap tidak lagi sesuai
dengan kondisi masa kini. Terutama dengan adanya “UU Desentralisasi /Otonomi
Daerah” seperti UU No 32/Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No 33/Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.
Maka bahaya manipulasi
oleh pengusaha dan kerusakan lingkungan harus
betul-betul diwaspadai oleh Pemerintah Daerah. Apalagi UU
32/Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PPLH) akan memberikan sanksi pidana kepada para pejabat yang memberikan izin kepada pengusaha
yang merusak dan mencemarkan lingkungan.
Sungguh ironis melihat dampak dan
hasil yang sangat tidak sesuai dengan apa yang diterima masyarakat sekitar
lokasi penambangan. Dari data yang di himpun LSM AMPUH (Aliansi Masyarakat
Pemerhati Lingkungan Hidup)dan media independent new hasil investigasi Pemda
Banyuwangi hanya mendapat sedikit saja PAD dari hasil pertambangan galian
golongan C dan diduga kuat PAD tersebut sebagian besar berasal dari tambang
ilegal.
Padahal hasil tambang Kabupaten Banyuwangi luar biasa, Itu belum termasuk tambang Emas , dijalur tak resmi uang yang jumlahnya diperkirakan mencapai Miliaran rupiah namun, dari penghasilan yang mencapai Miliaran Rupiah itu,warga pribumi hanya mendapatkan sedikit saja. Tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan sehingga warga sangat dirugikan seperti akses jalan rusak, Lingkungan yang rusak derita sesak nafas akibat polusi debu pasir yang beterbangan di musim kemarau waduh....! pada kemana nih para pejabat kita???
Padahal hasil tambang Kabupaten Banyuwangi luar biasa, Itu belum termasuk tambang Emas , dijalur tak resmi uang yang jumlahnya diperkirakan mencapai Miliaran rupiah namun, dari penghasilan yang mencapai Miliaran Rupiah itu,warga pribumi hanya mendapatkan sedikit saja. Tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan sehingga warga sangat dirugikan seperti akses jalan rusak, Lingkungan yang rusak derita sesak nafas akibat polusi debu pasir yang beterbangan di musim kemarau waduh....! pada kemana nih para pejabat kita???
Beberapa Akar Masalah Konflik
Pertama berwujud konflik norma yaitu
dasar pengaturan aktifitas pertambangan yakni Undang-undang No.11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 3 Ayat (1) penggolongan
dan pelaksanaan penguasaan bahan galian, Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Peraturan Pemerintah (PP) No.27 Tahun 1980 yang menggolongkan pasir sebagai
bahan galian golongan C,
kedua, adalah konflik kepentingan
(conflict of interests) dalam masalah ini nampak bahwa terjadi antinomi antara
kepentingan perolehan pendapatan asli daerah (PAD) didapat dari
tambang yang legal bukan ilegal namun harus dipertimbangan resiko degradasi lingkungan yang telah dan akan
terjadi jika kegiatan penambangan pasir tetap berlanjut, yang telah
dipertegas dalam Undang-undang No.17 Tahun 2007 mengenai Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) 2005-2025 angka I. 1dan 5.
ketiga sesuai hasil investigasi dilapangan, adalah
konflik kelembagaan birokrasi sangat kurang atau lemahnya koordinasi
kelembagaan birokrasi baik di pusat apalagi di daerah: misalnya dinas-dinas
terkait, karena ego sektoral dan motif ekonomi. Upaya pengatasannya
diperlukan upaya dialogik antar kelembagaan yang dapat diprakarsai oleh
Gubernur untuk diambil sikap yang bijak, transparan dan berkeadilan
mengedepankan sebesar-besar kepentingan seluruh warga masyarakat.