Popular Post

Popular Posts

Kamis, 08 Juni 2017

Orang Osing adalah masyarakat asli Banyuwangi. Mereka pengikut setia Kerajaan Blambangan sehingga mereka tetap
bertahan di Banyuwangi setelah Blambangan jatuh akibat pengaruh kerajaan Islam pada abad ke-14. Walaupun demikian, tetap ada para pengikut lain yang migrasi ke Bali bersama pengikut Kerajaan Majapahit. Mereka mempertahankan nilai-nilai agama Hindu di Kerajaan Karang Asem.
Dulu masyarakat Osing menutup diri dengan dunia luar untuk mempertahankan agama Hindu di Blambangan. Namun ketika Belanda masuk pada abad ke-16, mereka memaksa orang Osing bekerja sama dengan orang luar. Pengaruh luar mulai masuk dan pada perkembangannya sebagian besar orang Osing lalu memeluk agama Islam. Bahkan banyak yang menikah dengan orang luar Osing dan menyebar ke berbagai daerah. Namun masyarakat Osing yang tetap bertahan, masih setia dengan adat istiadat Osing, meskipun agama Islam juga kuat di sana.
Maka terjadilah pembauran adat dan agama. Pada hari raya Idul Fitri, mereka mengadakan perayaan adat seminggu penuh. Di sebuah desa, Ulehsari, rangkaian perayaan Idul Fitri juga termasuk acara bersih desa yang mereka kenal dengan sebutan Seblang. Ritual ini untuk mencapai keselarasan antara alam dan manusia, sehingga rakyat makmur dan terhindar dari malapetaka. Termasuk juga keselarasan dengan roh-roh yang menghuni desa.
Masyarakat Osing yang tinggal di desa Kemiren memiliki kegiatan rutin membaca lontar. Lontar yang berisi kepercayaan-kepercayaan Osing ini ditulis dalam bahasa Arab. Banyak orang yang merasa terbantu masalahnya setelah membaca lontar tersebut. Menurut Pak Pur, salah seorang tokoh Osing dari desa Kemiren, tidak ada yang perlu disalahkan jika masyarakat Osing merasa aman, nyaman, dan terbantu persoalannya dengan tradisi yang ada di Osing. Agama dan adat tetap dapat berjalan seiring, yang penting tidak ada yang mau menangnya sendiri.
Di negara multikultural seperti Indonesia, tampaknya memang perlu dikembangkan kesadaran tentang relativisme budaya. Penting untuk menanamkan pemikiran tentang menghargai budaya lain yang memang memiliki esensi sendiri. Budaya adalah nilai-nilai yang dikembangkan oleh suatu masyarakat sesuai dengan lingkungan yang mereka hadapi. Setiap budaya itu berharga. Dan budaya tertentu tidak dapat menilai atau menghakimi budaya lain, merasa menjadi budaya yang paling benar dan paling tinggi. Karena banyak kearifan budaya lokal yang justru bernilai untuk menjaga kehancuran alam semesta ini. Bukankah hutan-hutan gundul di negeri kita akibat masuknya perusahaan-perusahaan penebangan besar itu? Masyarakat adat pun menebang pohon dan berladang di hutan, namun mereka memiliki mekanisme sendiri untuk mempertahankan kesuburan tanah. Semua diatur dengan nilai-nilai adat sehingga kelangsungan alam tak terusik.
Melihat masyarakat Osing, saya menjadi tetap berani bermimpi, masih dapat melihat Indonesia yang multikultural empat puluh tahun lagi

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © BELAJAR NYOLDER - Ahmad Muzakki - Powered by Blogger - Designed by Muzakky Tok Tok -